HAJI ZIKIR, Saudagar Pejuang Sulawesi Barat

Rp. 140.000,-

Penulis: Adi Arwan Alimin

ISBN: Masih dalam proses

Cover: Soft Cover

Halaman: 204 Halaman

Berat : 30 gr

Ukuran : 15,5 x 23 cm


Tokoh kita kali ini adalah Haji Muhammad Zikir Sewai yang dikenal sebagai Haji Zikir (HZ). Seorang putra Mandar yang begitu populer karena karakter, adab, dan etos kerjanya. Ia merupakan salah satu founding fathers pembentukan Provinsi Sulawesi Ba­rat, kedudukannya sebagai Ketua Tim Dana di komite aksi perjuangan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) bekas Afdeling Mandar bukanlah pilihan mu­dah. Memiliki beragam bisnis yang bersinggungan pada kebijakan pemerinah kala itu tidak menyurutkan nawaitunya untuk berdiri sebagai benteng terkuat. Menjadi rahasia umum bahwa gagasan perjuangan pembentukan Sulawesi Barat awalnya tidak menda­pat dukungan birokrasi Sulawesi Selatan, sejumlah tokoh bahkan rakyat dapat disebut terbelah. Tetapi gelombang sejarah berpihak pada para pejuang Sul­bar.

Niat HZ selalu mengenai membantu, dan memi­liki manfaat bagi orang lain demikian komitmennya yang tinggi bagi arus perjuangan Sulbar. Haji Zi­kir tidak mengenal kata mundur bila tentang Tanah Mandar, apalagi perihal pembentukan provinsi yang sejak tahun 1960-an telah berdengung. Lelaki ini me­nerjemahkan hadist Rasulullah dalam kehidupan­nya yang hakiki. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Manusia yang paling dicintai Allah adalah manusia yang paling ba­nyak bermanfaat bagi orang lain. Keluarga Haji Zikir tidak dapat mengitung telah berapa banyak orang yang dibantu atau dimudahkan urusannya oleh sosok ini. Sebab tokoh kita membantu siapapun, orang yang dikenalnya atau tidak dikenalnya.

MASIHKAH KAU INGAT

Rp. 60.000,-

Penulis: Adi Arwan Alimin

ISBN: 978-602-51332-5-1

Cover: Soft Cover

Halaman: 122 Halaman

Berat : 30 gr

Ukuran : 14,5 x 21 cm


Bagi beberapa orang puisi sesuatu yang indah, memikat dengan ketelitian diksi. Genre ini membutuhkan kemampuan orang lain membahas tema dan perangkat kesusastraan dengan kejelasan yang kebanyakan dari kita pun tidak pernah bisa memikirkannya sendiri.

Puisi menunjukkan seorang penyair tidak pernah berhenti untuk berpikir mengenai ruang dan caranya menguji pemahaman pada lingkungannya, atau mengenai pendalamannya pada internalisasi pemahaman ruang dan teks. Dari sisi kerapkali muncul pertanyaan apakah tujuan seorang penyair dalam menuang kata-katanya sebagai sketsa atau realitas yang bermandi ungkapan.

Bagi penulis menulis bukanlah hanya mengenai bagaimana anda duduk di bawah sinar rembulan sambil menyaksikan gemuruh laut diujung-ujung kaki. Namun ini memerlukan kedalaman cinta anda kedalaman lautan dalam tanggapan imajinatif setelah melewati wilayah kontemplasi. Kemahiran

seseorang dalam urusan menyusun kata-kata sebagai bait puisi sesungguhnya gambaran keterampilan tinggi mengenai teknis pada unsur-unsur sastra. Disamping kematangannya mengelola emosinya yang memiliki resonansi pada teks dan makna bagi pembaca.

PEMILIH BERDAULAT NEGARA KUAT

Rp. 90.000,-

Penulis: Adi Arwan Alimin

ISBN: 978-602-51332-8-2

Cover: Soft Cover

Halaman: 250 Halaman

Berat : 70 gr

Ukuran : 13,5 x 20,5 cm


Demokrasi yang baik membutuhkan asupan gagasan atau ide, apalagi ketika diskursus pemilu telah berpindah dari forum-forum penalaran, audiotorium, kontainer massa ke dalam genggaman, mengutip F. Budi Hardiman (Opini Kompas, 30 November 2018). Saatnya demokrasi ditopang kebenaran dan penalaran publik yang sehat ketika akses publik politik makin mudah dari telepon genggam.

Di sisi lain, demokrasi merupakan sarana komunikasi yang perlu dilandasi integrasi sikap, dan mental untuk saling membangun iklim kepercayaan. Ini amat kita butuhkan untuk terus menjaga komunitas politis dalam atmosfir pengertian antara peserta Pemilu, Penyelenggara dan warga pemilih. Kompilasi esai kepemiluan yang ada dalam buku ini bagian dari ekspresi penulis sebelum menjadi penyelenggara Pemilu, hingga mendapat amanah sebagai salah satu komisioner KPU.

Bila dimaping, pembaca akan menemukenali bagaimana sikap, pandangan, dan cara penulis berterima dalam kesesuaian sebagai seseorang yang pernah berada di luar lembaga penyelenggaraan Pemilu dan polarisasi pemikirannya ketika menjadi bagian dari episentrum kebijakan, minimal di lingkup sebuah provinsi.

Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Selected Value: 1
Dikirim
$0.00
Konfirmasi

Hal-Hal yang Pergi

Rp. 60.000,-

Penulis: Dahri Dahlan

ISBN: 978-602-51332-4-4

Cover: Soft Cover

Halaman: 101 Halaman

Berat : 30 gr

Ukuran : 14,5 x 21 cm


Sajak-sajak Dahri Dahlan tiba di hadapan saya saat saya baru saja menginjak usia 60, yaitu saat saya sedang mulai belajar menja­di tua. Sajak-sajak Dahri seakan-akan merupakan respons terhadap kegelisahan terbaru saya: kegelisahan mengenai bagaimana mele­wati hari-hari tua dengan tabah. Sajak pertama dalam antologi ini, “Rumahmu Sepi Abadi”, membuat saya termangu. Meskipun digu­bah oleh seorang penulis yang masih muda usia, sajak tersebut telah berhasil memberikan gambaran yang “indah” tentang apa yang akan dialami oleh seseorang di hari tuanya. Perpaduan antara kelenturan imajinasi dan penghayatan hidup yang intens memang bisa membuat seorang penulis mampu menembus waktu.

Gambaran tentang nasib orang tua di usia senja ditampilkan melalui deskripsi yang terasa wajar tapi meyakinkan. Perasaan sepi, sendiri, dan sia-sia bercampur aduk dengan perasaan ditinggalkan dan tidak berharga. Dan, sebagaimana beberapa sajak Dahri yang lain, sajak tersebut diakhiri dengan ending yang memukul: “kamu melam­baikan tangan setelah mereka pergi. jam dinding berdetik berlalu, tak pernah sampai ke mana.” Itulah sajak yang menuntut kekuatan mental tersendiri bagi pembaca yang memiliki pengalaman langsung dengan apa yang dilukiskannya.

Dengan menempatkan sajak “Rumahmu Sepi Abadi” sebagai sajak pertama, Dahri tampaknya dengan sadar menyusun narasi per­menungannya secara flash back. Ia mulai dengan narasi mengenai fag­men akhir hidup manusia, baru setelahnya menyajikan berbagai narasi yang mengantar seseorang ke dalam fragmen akhir tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa perasaan kesepian dan kefanaan yang mem­bayang dalam sajak di atas tidaklah berdiri sendiri; ia merupakan kon­sekuensi dari segala yang dilakukan dan dialami dalam fragmen-frag­men hidup sebelumnya. Dengan kata lain, kesepian tidak sepenuhnya alamiah. Ia bisa merupakan akibat dari cara berpikir dan bertindak.

Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Selected Value: 1
Dikirim
$0.00
Konfirmasi

ANNANGGURU

Dalam Perubahan Sosial di Mandar

Rp. 120.000,-

Penulis: Dr. Aco Musaddad HM

ISBN: 978-602-51332-2-0

Cover: Soft Cover

Halaman: 368 Halaman

Berat : 110 gr

Ukuran : 14,5 x 20,5 cm

Annangguru sebagai pemimpin kharismatik yang berkedudukan sebagai elit masyarakat, dalam sejarahnya berperan cukup signifikan di semua aspek kehidupan sosial, budaya, agama dan politik. Ia dapat melampaui fungsi khususnya sebagai pemangku di bidang keagamaan dan ditempatkan pada posisi paling tinggi di masyarakat. Hal ini disebabkan karena annangguru masih dipandang sebagai tokoh yang cukup berpengaruh, karena pengetahuan yang ia miliki dan tingkat spiritualitas yang mendalam. Masih terbatasnya informasi ke masyarakat, Sehingga annangguru dijadikan sandaran untuk menjawab problem-problem sosial, bahkan annangguru dipandang sebagai orang sakti yang mempunyai ilmu yang melebihi manusia pada umumnya, tentunya juga sangat didukung faktor sosiologis masyarakat Mandar yang religious.

Olehnya itu ia berstatus sebagai elit sosial, sumber rujukan, pelindung, dengan menjadikan masjid, pengajian kitab, pesantren dan khalaqah tareqat, adalah basis-basis institusinya. Dengan berjalannya waktu, annangguru dalam konteks perubahan masyarakat yang mengglobal dimana sebelumnya sebagai sosok yang diposisikan di masyarakat pada status tertinggi tingkatannya, dan menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan dalam berbagai segi kehidupan dan penengah di berbagai konflik kemasyarakatan, perlahan mulai terkikis dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedudukan dan peran annangguru telah mengalami pergeseran. Yang kemudian tergantikan oleh profesionalisme dan lembaga formal bentukan pemerintah atau informal.

I MANYANGBUNGI, Arajang Balanipa Pertama

Rp. 85.000,-

Penulis: H. Andi Ando A. Pelang

ISBN: 978-602-74599-4-6

Cover: Soft Cover

Halaman: 218 Halaman

Berat : 90 gr

Ukuran : 14,4 x 20,5 cm


Abad demi abad orang besar selalu dila­hirkan. Yang cemerlang memimpin, yang mabuk berjubah kesombongan, yang berjasa membawa perubahan, yang berani di medan perang, yang menyelamatkan negeri, dan yang membawa ben­cana selalu berakhir dengan sepi. Pada pintalan tutur para sejarahwan, orang besar selalu lahir dalam rangkaian dialektika serta aksiden sejarah, dimana manusia bertambah banyak, dan tatanan baru ditegakkan.

Jaman komunitas kritis penuh ragu, berkibar di Pitu Ulunna Salu (PUS) dan di Pitu Baqbana Bi­nanga (PBB). Meragukan pemimpin mereka apa bisa melindungi dan mensejahterakan, mem­bayangkan kebersamaan, membutuhkan adanya pemerintahan kuat dengan batas-batas wilayah yang jelas. Berkisar abad ke-XV masyarakat PUS dan PBB membayangkan sebaiknya ada perubahan pemerintahan. Waktu bergulir lama, perubahan demi perubahan pun terjadi. Demiki­anlah masyarakat khususnya di wilayah itu da­lam mencari format politik kekuasaan yang bisa membawa mereka aman dan sejahtera. Pada waktu itu komunitas dipimpin seorang yang ter­baik diantara mereka (Perimus- interparss). Namun pemimpin yang ada tidak dapat diharapkan lagi mengamodir kepentingan mereka. Sementara di sisi lain, volume dan nilai perdagangan berkem­bang pesat.

Perubahan dirasakan mendesak, beriring masuknya pedagang antarpulau maupun yang datang dari bangsa atau negeri jauh di seberang lautan. Kehadirannya membawa banyak hal baru dihadapan mereka. Dengan demikian menuntut adanya bentuk pemerintahan yang kuat dan pi­lihannya jatuh pada wilayah yang dipimpin seo­rang raja, yakni sebuah kerajaan.