MASIHKAH KAU INGAT

Rp. 60.000,-

Penulis: Adi Arwan Alimin

ISBN: 978-602-51332-5-1

Cover: Soft Cover

Halaman: 122 Halaman

Berat : 30 gr

Ukuran : 14,5 x 21 cm


Bagi beberapa orang puisi sesuatu yang indah, memikat dengan ketelitian diksi. Genre ini membutuhkan kemampuan orang lain membahas tema dan perangkat kesusastraan dengan kejelasan yang kebanyakan dari kita pun tidak pernah bisa memikirkannya sendiri.

Puisi menunjukkan seorang penyair tidak pernah berhenti untuk berpikir mengenai ruang dan caranya menguji pemahaman pada lingkungannya, atau mengenai pendalamannya pada internalisasi pemahaman ruang dan teks. Dari sisi kerapkali muncul pertanyaan apakah tujuan seorang penyair dalam menuang kata-katanya sebagai sketsa atau realitas yang bermandi ungkapan.

Bagi penulis menulis bukanlah hanya mengenai bagaimana anda duduk di bawah sinar rembulan sambil menyaksikan gemuruh laut diujung-ujung kaki. Namun ini memerlukan kedalaman cinta anda kedalaman lautan dalam tanggapan imajinatif setelah melewati wilayah kontemplasi. Kemahiran

seseorang dalam urusan menyusun kata-kata sebagai bait puisi sesungguhnya gambaran keterampilan tinggi mengenai teknis pada unsur-unsur sastra. Disamping kematangannya mengelola emosinya yang memiliki resonansi pada teks dan makna bagi pembaca.

PEMILIH BERDAULAT NEGARA KUAT

Rp. 90.000,-

Penulis: Adi Arwan Alimin

ISBN: 978-602-51332-8-2

Cover: Soft Cover

Halaman: 250 Halaman

Berat : 70 gr

Ukuran : 13,5 x 20,5 cm


Demokrasi yang baik membutuhkan asupan gagasan atau ide, apalagi ketika diskursus pemilu telah berpindah dari forum-forum penalaran, audiotorium, kontainer massa ke dalam genggaman, mengutip F. Budi Hardiman (Opini Kompas, 30 November 2018). Saatnya demokrasi ditopang kebenaran dan penalaran publik yang sehat ketika akses publik politik makin mudah dari telepon genggam.

Di sisi lain, demokrasi merupakan sarana komunikasi yang perlu dilandasi integrasi sikap, dan mental untuk saling membangun iklim kepercayaan. Ini amat kita butuhkan untuk terus menjaga komunitas politis dalam atmosfir pengertian antara peserta Pemilu, Penyelenggara dan warga pemilih. Kompilasi esai kepemiluan yang ada dalam buku ini bagian dari ekspresi penulis sebelum menjadi penyelenggara Pemilu, hingga mendapat amanah sebagai salah satu komisioner KPU.

Bila dimaping, pembaca akan menemukenali bagaimana sikap, pandangan, dan cara penulis berterima dalam kesesuaian sebagai seseorang yang pernah berada di luar lembaga penyelenggaraan Pemilu dan polarisasi pemikirannya ketika menjadi bagian dari episentrum kebijakan, minimal di lingkup sebuah provinsi.

Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Selected Value: 1
Dikirim
$0.00
Konfirmasi

Hal-Hal yang Pergi

Rp. 60.000,-

Penulis: Dahri Dahlan

ISBN: 978-602-51332-4-4

Cover: Soft Cover

Halaman: 101 Halaman

Berat : 30 gr

Ukuran : 14,5 x 21 cm


Sajak-sajak Dahri Dahlan tiba di hadapan saya saat saya baru saja menginjak usia 60, yaitu saat saya sedang mulai belajar menja­di tua. Sajak-sajak Dahri seakan-akan merupakan respons terhadap kegelisahan terbaru saya: kegelisahan mengenai bagaimana mele­wati hari-hari tua dengan tabah. Sajak pertama dalam antologi ini, “Rumahmu Sepi Abadi”, membuat saya termangu. Meskipun digu­bah oleh seorang penulis yang masih muda usia, sajak tersebut telah berhasil memberikan gambaran yang “indah” tentang apa yang akan dialami oleh seseorang di hari tuanya. Perpaduan antara kelenturan imajinasi dan penghayatan hidup yang intens memang bisa membuat seorang penulis mampu menembus waktu.

Gambaran tentang nasib orang tua di usia senja ditampilkan melalui deskripsi yang terasa wajar tapi meyakinkan. Perasaan sepi, sendiri, dan sia-sia bercampur aduk dengan perasaan ditinggalkan dan tidak berharga. Dan, sebagaimana beberapa sajak Dahri yang lain, sajak tersebut diakhiri dengan ending yang memukul: “kamu melam­baikan tangan setelah mereka pergi. jam dinding berdetik berlalu, tak pernah sampai ke mana.” Itulah sajak yang menuntut kekuatan mental tersendiri bagi pembaca yang memiliki pengalaman langsung dengan apa yang dilukiskannya.

Dengan menempatkan sajak “Rumahmu Sepi Abadi” sebagai sajak pertama, Dahri tampaknya dengan sadar menyusun narasi per­menungannya secara flash back. Ia mulai dengan narasi mengenai fag­men akhir hidup manusia, baru setelahnya menyajikan berbagai narasi yang mengantar seseorang ke dalam fragmen akhir tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa perasaan kesepian dan kefanaan yang mem­bayang dalam sajak di atas tidaklah berdiri sendiri; ia merupakan kon­sekuensi dari segala yang dilakukan dan dialami dalam fragmen-frag­men hidup sebelumnya. Dengan kata lain, kesepian tidak sepenuhnya alamiah. Ia bisa merupakan akibat dari cara berpikir dan bertindak.

Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Selected Value: 1
Dikirim
$0.00
Konfirmasi