ANNANGGURU

Dalam Perubahan Sosial di Mandar

Rp. 120.000,-

Penulis: Dr. Aco Musaddad HM

ISBN: 978-602-51332-2-0

Cover: Soft Cover

Halaman: 368 Halaman

Berat : 110 gr

Ukuran : 14,5 x 20,5 cm

Annangguru sebagai pemimpin kharismatik yang berkedudukan sebagai elit masyarakat, dalam sejarahnya berperan cukup signifikan di semua aspek kehidupan sosial, budaya, agama dan politik. Ia dapat melampaui fungsi khususnya sebagai pemangku di bidang keagamaan dan ditempatkan pada posisi paling tinggi di masyarakat. Hal ini disebabkan karena annangguru masih dipandang sebagai tokoh yang cukup berpengaruh, karena pengetahuan yang ia miliki dan tingkat spiritualitas yang mendalam. Masih terbatasnya informasi ke masyarakat, Sehingga annangguru dijadikan sandaran untuk menjawab problem-problem sosial, bahkan annangguru dipandang sebagai orang sakti yang mempunyai ilmu yang melebihi manusia pada umumnya, tentunya juga sangat didukung faktor sosiologis masyarakat Mandar yang religious.

Olehnya itu ia berstatus sebagai elit sosial, sumber rujukan, pelindung, dengan menjadikan masjid, pengajian kitab, pesantren dan khalaqah tareqat, adalah basis-basis institusinya. Dengan berjalannya waktu, annangguru dalam konteks perubahan masyarakat yang mengglobal dimana sebelumnya sebagai sosok yang diposisikan di masyarakat pada status tertinggi tingkatannya, dan menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan dalam berbagai segi kehidupan dan penengah di berbagai konflik kemasyarakatan, perlahan mulai terkikis dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedudukan dan peran annangguru telah mengalami pergeseran. Yang kemudian tergantikan oleh profesionalisme dan lembaga formal bentukan pemerintah atau informal.

I MANYANGBUNGI, Arajang Balanipa Pertama

Rp. 85.000,-

Penulis: H. Andi Ando A. Pelang

ISBN: 978-602-74599-4-6

Cover: Soft Cover

Halaman: 218 Halaman

Berat : 90 gr

Ukuran : 14,4 x 20,5 cm


Abad demi abad orang besar selalu dila­hirkan. Yang cemerlang memimpin, yang mabuk berjubah kesombongan, yang berjasa membawa perubahan, yang berani di medan perang, yang menyelamatkan negeri, dan yang membawa ben­cana selalu berakhir dengan sepi. Pada pintalan tutur para sejarahwan, orang besar selalu lahir dalam rangkaian dialektika serta aksiden sejarah, dimana manusia bertambah banyak, dan tatanan baru ditegakkan.

Jaman komunitas kritis penuh ragu, berkibar di Pitu Ulunna Salu (PUS) dan di Pitu Baqbana Bi­nanga (PBB). Meragukan pemimpin mereka apa bisa melindungi dan mensejahterakan, mem­bayangkan kebersamaan, membutuhkan adanya pemerintahan kuat dengan batas-batas wilayah yang jelas. Berkisar abad ke-XV masyarakat PUS dan PBB membayangkan sebaiknya ada perubahan pemerintahan. Waktu bergulir lama, perubahan demi perubahan pun terjadi. Demiki­anlah masyarakat khususnya di wilayah itu da­lam mencari format politik kekuasaan yang bisa membawa mereka aman dan sejahtera. Pada waktu itu komunitas dipimpin seorang yang ter­baik diantara mereka (Perimus- interparss). Namun pemimpin yang ada tidak dapat diharapkan lagi mengamodir kepentingan mereka. Sementara di sisi lain, volume dan nilai perdagangan berkem­bang pesat.

Perubahan dirasakan mendesak, beriring masuknya pedagang antarpulau maupun yang datang dari bangsa atau negeri jauh di seberang lautan. Kehadirannya membawa banyak hal baru dihadapan mereka. Dengan demikian menuntut adanya bentuk pemerintahan yang kuat dan pi­lihannya jatuh pada wilayah yang dipimpin seo­rang raja, yakni sebuah kerajaan.

Kampung Jawa di Tanah Mandar

Kronik Sejarah Kedatangan Kolonis Mapilli

Rp. 100.000,-

Penulis: Adi Arwan Alimin

ISBN: 978-602-51332-9-9

Cover: Soft Cover

Halaman: 258 Halaman

Berat : 100 gr

Ukuran : 14 x 20,5 cm


Wonomulyo tumbuh sebagai kecamatan yang makin maju. 75 tahun lalu Raden Soepar­man menggelar acara syukuran selama tujuh hari tujuh malam di alun-alun atau di area Pen­dopo rumah jabatannya. Dalam catatan Mukidjo disebut bertepatan 10 tahun kawasan kolonisasi tumbuh kian subur dan maju. Hari penting itu bertanggal 5 Oktober 1948 atau tiga tahun sete­lah kemerdekaan Republik Indonesia. Jejak awal kedatangan kolonis pertama kali dalam catatan Residen Mandar Leyds di Majene menyebut 1 September 1937. Tonggak ini mewarnai diskusi terpumpun yang digelar di Pendopo 5-6 Desem­ber 2022, juga pada Seminar Diaspora Kampung Jawa 16 Maret 2023 di tempat yang sama. Ini menjadi pengaya edisi revisi buku yang sedang pembaca eja, penulis kembali mengumpulkan informasi tambahan dari beberapa sumber dan paling anyar dari FGD dan Seminar Diaspora Kampung Jawa.

Histori Kampung Jawa Wonomulyo me­mang selalu menarik dibahas. Ruang-ruang diskusi terbuka bahkan dalam lingkup komu­nitas semacam wadah WAG atau WhatsApp Group selalu ramai membincang situasi terkini dan wajah bekas daerah kolonisasi di masa da­tang. Area yang semula berada di bawah kenda­li Amaraqdiang Mapilli itu 86 tahun kemudian telah berubah sangat drastis, dari hutan-hutan yang sangat lebat sekarang bersalin wajah be­ton menjulang yang membuat pandangan sesak. Kota kecil ini memang bukan pumpunan etnis biasa-biasa saja. Di sini telah merimbun banyak kepentingan dan visi yang satu sama lain kian open minded. Wonomulyo identik dengan war­ganya yang kritis.