Description
Novel ini mengisahkan sosok legendaris, Daeng Rioso, yang sempat memberikan dharma baktinya pada kerajaan Balanipa saat Pasukan Bone yang dipimpin Arung Palakka menyerbu dengan armada perangnya yang dahsyat. Arajang Balanipa, Daeng Mabani, terdesak hingga wilayah Appeq Banua Kaiyyang, nyaris tak berdaya. Maka, beliau mengumumkan sayembara. Siapa pun yang sanggup memimpin peperangan melawan Arung Palakka, maka mahkota atau jabatan sebagai raja akan ia serahkan.
Saat itulah muncul sosok Daeng Rioso, mantan legiun perang Makassar ini pun mengajukan diri untuk mengambil tanggung jawab besar itu. Ia merupakan bekas laskar Makassar yang memiliki riwayat peperangan di bawah kepemimpinan Karaeng Galesong, atau Panglima Karaeng Bontomarannu di masa Sultan Hasanuddin. Ketika Gowa jatuh ke tangan Arung Palakka dan sekutunya, VOC, sejumlah panglima atau Karaeng di Makassar menolak butir-butir Perjanjian Bungaya yang dianggap sangat merugikan pihak Sultan Hasanuddin serta sekutunya. Kerajaan
Balanipa Mandar merupakan sekutu paling setia Gowa, setelah Buton, Ternate dan wilayah lainnya. Ketika para karaeng dengan ribuan prajurit meninggalkan Gowa menuju Madura, Jawa, dan Banten, lelaki bernama Daeng Rioso justru bertahan di Makassar, lalu memilih pulang ke Balanipa.
Ternyata dalam invasi Arung Palakka ke Balanipa ini, Daeng Rioso berhasil. Perang ini berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Lanrisang yang dilakukan antara Daeng Rioso dengan Arung Palakka. Salah satu butir perjanjian ini menegaskan sejak saat itu antara Mandar dan Bone menjadi saudara dan tidak akan pernah lagi saling membunuh (berperang). Akhirnya,
Daeng Rioso naik tahta menggantikan Daeng Mabanni, dan tercatat sebagai Arajang ke-XII Balanipa.
Reviews
There are no reviews yet.